Tuesday 2 November 2010

Fatwa Haram Belum Pengaruhi Industri Rokok

JAKARTA - Fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah maksih menimbulkan pro dan kontra. Namun hal itu, tidak langsung berdampak drastis pada industri rokok dalam negeri.

"Itu hukum agama. Sesama orang-orang Muhammadiyah juga masih pro dan kontra. Kalau ditanya total berapa umat Islam yang ikuti fatwa Muhammadiyah, kembali ke masing-masing. Kalau ditanya pengaruhnya ke industri, itu masih terlalu dini. Karena banyak faktor yang membuat industri rokok kolaps. Selama ini industri masih tetap berjalan seperti biasa, jadi penurunan tidak sedrastis itu," kata Direktur Industri Minuman dan Tembakau Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian Warsono di Jakarta, Senin.


Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan produksi, lanjutnya, antara lain adalah tingginya tarif cukai dan masalah pasokan bahan baku. "Namun cukai merupakan komponen beban terbesar untuk penurunan produksi. Sesuai UU cukai No 39, rokok merupakan produk dikendalikan. Kenaikan cukai terparah pada 2003 di mana sampe dua hingga tiga kali dalam setahun. Benar-benar menurunkan produksi," ujarnya.

Muhammadiyah juga mengenakan fatwa haram pada corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan rokok dalam negeri. "Karena, aturan CSR telah diatur di Undang-Undang Perseroan Terbatas. Ini hukum agama jadi akan sulit untuk menentukan hukumannya karena dalam hukum normatif tidak dilarang," ujar dia.

Sementara itu, berdasarkan dengan road map dari Kementerian Perindustrian (Kementerian) atas industri rokok, prioritas pada tahun ini, kata dia, adalah aspek tenaga kerja, penerimaan negara, dan kesehatan.

"Untuk 2010, prioritas masih pada aspek tenaga kerja dan penerimaan negara, baru aspek kesehatan. Pada 2011-2014, prioritas pada aspek penerimaan negara, kesehatan, baru tenaga kerja. Tahun 2015, beralih ke aspek kesehatan melebihi aspek penerimaan dan tenaga kerja,"tukas dia.

Untuk produksi rokok dalam negeri, lanjut dia, ditargetkan mencapai 250 miliar batang pada tahun 2010, angka tersebut naik sebanyak lima miliar batang dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 245 miliar batang.

"Target produksi 2015, 260 miliar batang. Pertumbuhan itu fluktuatif, pada 2005 sebanyak 222 miliar, 2006 yakni 218 miliar, 231 miliar pada 2007, 2008 sebanyak 240 miliar, tahun 2009 245 miliar. Dengan kondisi sekarang, saya yakin target tersebut akan tercapai tahun ini," jelasnya.

Warsono menuturkan, sebanyak lima persen dari sisa produksi dalam negeri akan diekspor. "Dengan kondisi ada fatwa haram, bisa jadi dialihkan ke ekspor. Tapi untuk ekspor rokok pun tidak mudah, walau tiap tahun mengalami kenaikan. Ekspor rokok putih ke Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Kamboja), baru nanti dari Singapura disebar ke Eropa, AS, Australia, dan Afrika," tutur Warsono.

Warsono menambahkan, untuk nilai ekspor tembakau dan produk olahan pada 2009 sebesar USD564,8 juta. Dan pada 2008 yakni USD508,8 juta, sedangkan 2007 sebesar USD424,7 juta.

Warsono menjelaskan, jumlah industri rokok pada 2009 sebanyak 3.255 industri, tapi, kata dia, berdasarkan data terakhir hanya tersisa 3.000 industri. "Karena banyak industri rumahan yang ditindak karena tidak taat pada aturan cukai. Industri rokok tersebar di hampir semua kabupaten di Jawa Timur (70 persen),di Jawa Tengah (20-25 persen) seperti di Kudus, Jepara, Solo, Semarang, sisanya 20 persen di Jawa Barat yakni di Cilegon, Karawang ada Phillip Morris dan Sampoerna, terakhir di DIY dan Sumatera Utara (Pematang Siantar)," ungkap dia.

Untuk jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung di industri rokok, lanjut dia, sebanyak 6 ribu orang. "Yang tidak terlibat langsung ada sekitar 6,1 juta plus petani tembakau, petani cengkeh, termasuk pedagang," pungkasnya.

0 comments:

Post a Comment